Lombok Barat
Opini
Demokrasi tidak hadir di ruang hampa, perlu perjuangan berdarah-darah untuk bisa menerapkannya. Pada abad ke 17, Niccolo Machiavelli (buku Il Principe) meletakkan dasar bagi monarki absolut yang kemudian mempengaruhi raja-raja Eropa untuk membentuk kekuasaan yang mutlak. Sehingga absolutisme inilah yang kemudian menjadi pemantik munculnya benih-benih revolusi di hari-hari berikutnya.
Jika merujuk pada sejarah terbentuknya negara, bahwa kekuasaan absolut raja berasal dari legitimasi kekuasaan Tuhan. Atas nama mewakili tuhan maka kekuasaan bersumber pada satu orang raja saja. Dengan kekuasaan yang tiada batasnya tersebut ia mampu mengatur segala lini kehidupan masyarakat. Inilah yang dinamakan sistem Patrimornial di mana kekuasaan bertumpu pada satu individu.Sistem patriarki, feodalisme, monarki, primordialisme, totaliter, tirani dan segala pirantinya termasuk ke dalam sistem patrimornial.
Masyarakat dianggap bodoh sehingga tidak berhak ikut campur dalam urusan kenegaraan. Inilah fakta sejarah kita, yang pernah merasakan bagaimana raja-raja Nusantara berkuasa selama ribuan tahun lamanya kemudian Belanda dan Jepang datang menjajah kita.
Berbeda dengan sistem demokrasi yang asas dasarnya adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. "Vox dei, Vox populi" suara rakyat adalah suara tuhan, dari celah-celah tangan rakyatlah mengalir suara tuhan. Mereka kemudian memilih wakil mereka sebagai pelayan (kita kenal dengan istilah pemimpin) untuk mengurusi kebutuhan dasar kolektif mereka. Karena wakil yang mereka pilih tersebut dikawatirkan menyelewengkan kekuasaan "abuse of power" karena kekuasaan cenderung korup "power tend to corrupt" dan menjadi homo homini lupus "Manusia adalah serigala bagi sesama manusianya" kata Hobbes dalam Leviatan, maka kemudian mereka kembali lagi membentuk dan memilih wakil-wakil baru yang khusus mengawasi kinerja eksekutif, selain itu mereka diberi fungsi legislasi dan budgeting sehingga disebutlah mereka ini dengan sebutan dewan perwakilan rakyat.
Kolaborasi eksekutif dan legislatif ini kemudian membentuk dewan peradilan sebagai lembaga yudikatif. Karena lagi-lagi, sebab keragu-raguan mereka atas wakil-wakilnya tersebut kemudian membentuk lembaga-lembaga pengawas untuk mengawasi wakil-wakil di sebut di atas semisal ombudsman, BPK dan KPK.
Demokrasi ideal adalah demokrasi yang mensyaratkan rakyatnya cerdas dan kritis terhadap wakilnya. Kritisisme rakyat lahir dari skeptisisme aktif (keragu-raguan untuk terus bertanya) bukan skeptisisme pasif (sinis dan tidak mau tahu), dari sinilah lahir partisipasi masyarakat. Yang terjadi hari ini adalah partisipasi yang bukan dasarnya kesadaran atas nasionalisme berbangsa dan bernegara sebagai kebutuhan bersama namun tindakan instrumental (tindakan bermotif). Sehingga program-program yang terselenggara selalu bersifat seremonial dan formalitas belaka.
Kita hidup di tengah-tengah masyarakat dengan skeptisisme pasif, orang tua sibuk dengan dirinya sendiri, pemuda sibuk dengan media sosial dan video gamenya, anak-anak sibuk mencontoh seniornya dan pemerintah sibuk dengan program-programnya sendiri.
Awal-awal kemerdekaan, Indonesia pernah kehilangan pikiran karena para pendiri bangsanya diasingkan ke tempat-tempat terpisah. Masa Orde Baru kita juga pernah kehilangan pikiran karena Rezim otoriter melarang berfikir kritis. Dan sekarang kita berada dalam transisi demokrasi Reformasi di mana feodalisme mulai tergerus, kebebasan berpendapat mulai terjamin. Atas jasa para pahlawan Revolusi dan Reformasi itu kita bukan malah berfikir kritis namun sibuk bersimulakra menjual-jual simbol di media sosial.
Transisi Demokrasi dan Gejala Matinya Pikiran Rakyat
Negara Indonesia terbentuk dari imanjinasi para pendiri bangsa, sebab ribuan tahun ia telah menjalani kehidupan sosial masyarakat dengan sistem kerajaan. Dengan Pancasila sebagai ideologi dan demokrasi sebagai sistem bernegaranya, sistem yang sama sekali asing bagi bangsa yang selama ini hidup di tengah-tengah feodalisme sistem patrimornial.
Demokrasi tidak hadir di ruang hampa, perlu perjuangan berdarah-darah untuk bisa menerapkannya. Pada abad ke 17, Niccolo Machiavelli (buku Il Principe) meletakkan dasar bagi monarki absolut yang kemudian mempengaruhi raja-raja Eropa untuk membentuk kekuasaan yang mutlak. Sehingga absolutisme inilah yang kemudian menjadi pemantik munculnya benih-benih revolusi di hari-hari berikutnya.
Jika merujuk pada sejarah terbentuknya negara, bahwa kekuasaan absolut raja berasal dari legitimasi kekuasaan Tuhan. Atas nama mewakili tuhan maka kekuasaan bersumber pada satu orang raja saja. Dengan kekuasaan yang tiada batasnya tersebut ia mampu mengatur segala lini kehidupan masyarakat. Inilah yang dinamakan sistem Patrimornial di mana kekuasaan bertumpu pada satu individu.Sistem patriarki, feodalisme, monarki, primordialisme, totaliter, tirani dan segala pirantinya termasuk ke dalam sistem patrimornial.
Masyarakat dianggap bodoh sehingga tidak berhak ikut campur dalam urusan kenegaraan. Inilah fakta sejarah kita, yang pernah merasakan bagaimana raja-raja Nusantara berkuasa selama ribuan tahun lamanya kemudian Belanda dan Jepang datang menjajah kita.
Berbeda dengan sistem demokrasi yang asas dasarnya adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. "Vox dei, Vox populi" suara rakyat adalah suara tuhan, dari celah-celah tangan rakyatlah mengalir suara tuhan. Mereka kemudian memilih wakil mereka sebagai pelayan (kita kenal dengan istilah pemimpin) untuk mengurusi kebutuhan dasar kolektif mereka. Karena wakil yang mereka pilih tersebut dikawatirkan menyelewengkan kekuasaan "abuse of power" karena kekuasaan cenderung korup "power tend to corrupt" dan menjadi homo homini lupus "Manusia adalah serigala bagi sesama manusianya" kata Hobbes dalam Leviatan, maka kemudian mereka kembali lagi membentuk dan memilih wakil-wakil baru yang khusus mengawasi kinerja eksekutif, selain itu mereka diberi fungsi legislasi dan budgeting sehingga disebutlah mereka ini dengan sebutan dewan perwakilan rakyat.
Kolaborasi eksekutif dan legislatif ini kemudian membentuk dewan peradilan sebagai lembaga yudikatif. Karena lagi-lagi, sebab keragu-raguan mereka atas wakil-wakilnya tersebut kemudian membentuk lembaga-lembaga pengawas untuk mengawasi wakil-wakil di sebut di atas semisal ombudsman, BPK dan KPK.
Demokrasi ideal adalah demokrasi yang mensyaratkan rakyatnya cerdas dan kritis terhadap wakilnya. Kritisisme rakyat lahir dari skeptisisme aktif (keragu-raguan untuk terus bertanya) bukan skeptisisme pasif (sinis dan tidak mau tahu), dari sinilah lahir partisipasi masyarakat. Yang terjadi hari ini adalah partisipasi yang bukan dasarnya kesadaran atas nasionalisme berbangsa dan bernegara sebagai kebutuhan bersama namun tindakan instrumental (tindakan bermotif). Sehingga program-program yang terselenggara selalu bersifat seremonial dan formalitas belaka.
Kita hidup di tengah-tengah masyarakat dengan skeptisisme pasif, orang tua sibuk dengan dirinya sendiri, pemuda sibuk dengan media sosial dan video gamenya, anak-anak sibuk mencontoh seniornya dan pemerintah sibuk dengan program-programnya sendiri.
Awal-awal kemerdekaan, Indonesia pernah kehilangan pikiran karena para pendiri bangsanya diasingkan ke tempat-tempat terpisah. Masa Orde Baru kita juga pernah kehilangan pikiran karena Rezim otoriter melarang berfikir kritis. Dan sekarang kita berada dalam transisi demokrasi Reformasi di mana feodalisme mulai tergerus, kebebasan berpendapat mulai terjamin. Atas jasa para pahlawan Revolusi dan Reformasi itu kita bukan malah berfikir kritis namun sibuk bersimulakra menjual-jual simbol di media sosial.
Post a Comment